Jatuh Cinta (3)
“Nama kamu siapa?”
“Rio, Om. Kalo nama Om?”
Aku mengulurkan tangan. “Damar Satrio.” Jawabku menyebut lengkap namaku.
Rio tersenyum mendengar namaku yang hampir sama dengan namanya.
“Umur kamu berapa? Kamu ke sini sama siapa?”
“10, Om. Aku kesini dianter Pak Nurdin, bekas sopir Ayah.”
Setelah Rio berdiri selama beberapa menit melihat ibunya, aku dan Rio mengobrol di bangku taman rumah singgah ini. Taman yang cukup luas ini biasa digunakan untuk para pasien yang emosinya tergolong stabil, jadi siapa pun akan merasa aman berada di taman ini.
Aku dan Rio berbincang tak terlalu banyak karena bocah itu sudah keburu dijemput oleh Pak Nurdin sang mantan sopir yang masih setia meskipun ia tidak lagi bekerja pada keluarga Rio.
Bu Lili, ibunya Rio, datang sebelum Ana berada di tempat ini. Itu artinya Bu Lili sudah cukup lama tinggal di rumah singgah Damai Jiwa dan keadaanya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Kehilangan seorang suami yang sangat dicintai, yang telah menemaninya dalam keadaan susah dan senang selama puluhan tahun telah membuatnya kehilangan akal sehatnya. Ayah Rio meninggal secara mendadak karena serangan jantung. Hal itu yang membuat Bu Lili sangat terpukul, ditambah lagi kelakuan kakak Rio yang selalu membuat ulah selepas kepergian ayahnya. Dalam waktu yang berdekatan, bocah laki-laki 10 tahun itu harus kehilangan kedua orangtuanya.
Aku masih duduk di taman. Menghabiskan sore ini menyaksikan beberapa pasien yang “sibuk” dengan dunianya masing-masing. Seorang laki-laki muda yang duduk tak jauh di sampingku sedang asyik membuang mahkota bunga satu per satu jatuh ke tanah dan ia lakukan berulang kali sambil tersenyum. Di tempat yang agak jauh seorang perempuan dengan dandanan menor dan berpakaian dengan model baju yang tak karuan sedang senyum-senyum dan bicara sendiri.
“Gantengnya solehnya pinternya Mami dateng.” Ibu setengah tua yang selalu mengusap-usap daguku datang mendekat.
Sungguh, awalnya aku sangat ketakutan ketika Bu Patra mendekatiku pertama kalinya. Selain senang mengusap daguku, ia juga senang memelukku dan menggelayut di tubuhku seolah-olah aku adalah anak laki-lakinya. Namun ketika aku mengetahui bahwa ia tak bertindak menyakiti dan dalam batas wajar, aku pun menanggapinya biasa saja. Justru malah terkadang merasa sangat kasihan.
“Eeeh Bu Patra jangan ganggu Mas Damar. Di sana mainnya, hayo.” Mbak Putu, seorang perawat yang sedang bertugas mengawasi beberapa pasien mencoba memisahkan Bu Patra dan aku.
Dengan beberapa kali usaha, akhirnya Bu Patra menuruti permintaan Mbak Putu.
“Mas Damar mau ketemu sama Mbak Ana ya?”
“Iya Mbak Putu, sayangnya Ana nggak bisa ditemui.”
“Maaf ya Mas. Ini untuk kebaikan Mbak Ana dan orang-orang di sekitarnya.”
“Nggak apa-apa kok. Saya ngerti.”
“Kasian Mbak Ana. Sejak Bu Rina dan Pak Danny membawanya ke tempat ini, belum ada satu pun keluarganya yang datang mencarinya.” Sambil berkata mata Mbak Putu tetap terus mengawasi para pasien. “Waktu Mas Damar datang tanya tentang Mbak Ana, saya pikir Mas Damar salah satu keluarganya.” Ia melanjutkan.
“Selama berada di sini, apa nggak ada info yang bisa dicari dari mulut Ana sendiri? Atau mungkin ada tenaga medis profesional yang bisa mengungkapkan masa lalunya?”
“Gantengnya solehnya pinternya mami …” Bu Patra tiba-tiba datang lagi mendekatiku.
(bersambung …)